Jumat, 22 Januari 2010

Resiko Pada Proyek Teknologi Informasi

Pada dasarnya setiap kegiatan/aktifitas pasti mengandung risiko sehingga pengendalian pada hakekatnya diimplementasikan untuk menghindari terjadinya risiko tersebut. Hal ini tidak hanya terjadi pada operasi organisasi tetapi juga pada kehidupan manusia sehari-hari.
Merupakan suatu hal yang sering terjadi, bila suatu organisasi/ institusi tidak menyadari kondisi membahayakan tersebut. Hal tersebut karena kebiasaan untuk menyadari bahwa suatu kondisi/ kejadian merupakan bahaya bila kondisi atau kejadian tersebut telah terjadi.
Sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut, timbul pertanyaan mengenai keterandalan (reliability) data/ informasi yang diungkapkan sebagai laporan keuangan atau laporan manajemen yang menyatakan hasil kegiatan yang telah dicapai suatu organisasi. Tidak mungkin suatu informasi dapat dikatakan andal atau valid bila sumber data dan pengolahannya tidak juga andal dan valid.
Secara generik tahapan pengembangan infrastruktur teknologi informasi seharusnya mengakomodir tahapan-tahapan berikut ini :
1. Menentukan cakupan proyek (scoping)
Tahapan scoping dijalankan untuk mengensli permasalahan yang terjadi di dalam unit kerja atau suatu perusahaan. Obyektif dan tujuan serta requirement teknis disusun setelah permasalah ditemukan disertai membandingkan kondisi eksisting dengan kondisi ideal yang diidamkan. Sebuah project plan yang memuat rincian kondisi ideal yang diinginkan, desain arsitektur sistem, prakiraan alokasi waktu pengembangan, besaran dana yang disediakan bagi kegiatan pengembangan tersebut, serta dukungan internal maupun eksternal yang diperlukan – diharapkan dapat dituangkan ke dalam suatu dokumen yang disepakati bersama antara manajemen perusahaan dan user yang dalam kontek ini sekaligus bertindak sebagai pengembang infrastruktur.
Peran manajemen perusahaan memiliki andil terbesar di dalam penentuan cakupan proyek yang akan dijalankan, hal ini terkait dengan otorisasi manajemen perusahaan dalam menentukan kebijakan penggunaan sumber daya perusahaan, penentuan visi dan misi perusahaan serta bertanggung jawab dalam penggunaan anggaran perusahaan.
2. Melakukan analisis
Kesepakatan cakupan proyek selanjut dijabarkan dalam suatu kegiatan analisis kondisi eksisting, penentuan kondisi ideal yang disertakan dalam penyusunan tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam implementasi selanjutnya. Gap kondisi eksisting dan kondisi ideal tersebut yang nantinya akan dieliminasi melalui pengembangan sistem yang sedang direncanakan tersebut.
Kegiatan analisis juga dilakukan atas resiko yang mungkin akan muncul di dalam penyelesaian proyek tersebut serta pasca implementasinya (operasional). Risk analysis mencakup berbagai hal teknis maupun non teknis yang diperlukan di dalam pengerjaan proyek pengembangan sistem teknologi informasi yang dimaksud. Dengan pendefinisian resiko di awal proyek, diharapkan akan meningkatkan derajat kehati-hatian pelaksana proyek sekaligus menjadi quality control bagi pengawas proyek dalam melakukan penilaian terhadap pelaksanaan proyek.
3. Melakukan implementasi
Realisasi pelaksanaan proyek dilakukan pada tahapan implementasi. Hasil akhir dari tahapan implementasi adalah final system (atau sering disebut dengan completed system) yang secara harafiah adalah berupa sistem teknologi informasi dengan kemampuan lengkap dengan cacat produksi yang telah diminimasi. Dalam beberapa referensi metodologi pengembangan perangkat lunak membatasi tahapan implementasi dengan memasukan proses pengkodean (programming), pengujian (testing) dan instalasi menjadi bagian dari tahapan ini. Beberapa referensi lain menambahkan proses edukasi (user education) dan publikasi (promoting) turut menjadi bagian dari tahapan ini. Apapun batasannya, namun penulis lebih menganut suatu pemahaman bahwa tahapan implementasi memiliki keterkaitan keseluruhan proses yang disebutkan di atas, dan hasil batasan akhir dari tahapan implementasi adalah keluaran proyek yang benar-benar siap untuk dioperasikan. Dan kembali kepada topik tulisan ini mengenai selfsourcing, sebuah pertanyaan singkat terlintas: masih perlukan proses edukasi dan publikasi dijalankan – dan jawabannya adalah ya, karena bagaimanapun juga sosialisasi sistem kepada khalayak pengguna menjadi perlu dilakukan, hal ini terkait dengan pembiasaan user atas sistem teknologi informasi yang baru dikembangkan.
Keluaran dari tahapan implementasi dituntut untuk menjadi sebuah sistem yang mature dengan memiliki derajat flexibility, interoperability dan performance yang tinggi.
Pada lingkungan perusahaan yang menuntut akurasi sistem secara prima (misalnya: perbankan, rumah sakit, perusahaan telekomunikas, dan instansi pengolahan data) , proses pembuktian kesiapan sistem menjadi lebih komplek dan mempertimbangkan lebih banyak aspek sebelum akhirnya sistem tersebut dinyatakan benar-benar siap untuk dioperasikan.
4. Menjalankan fungsi support
Infrastruktur teknologi informasi membutuhkan kegiatan pemeliharaan dan pengawasan yang telaten dan akurat. Learning system kira-kira begitu sebutannya untuk mendeskripsikan sebuah sistem yang senantiasa tumbuh berkembang seiring dengan pemanfaatannya dalam kegiatan operasional perusahaan sehari-hari. Bukan tidak mungkin dengan makin seringnya infrastruktur sistem informasi tersebut dipergunakan, maka tuntutan user pada sistem tersebut juga berubah (atau meningkat). Fungsi support diperlukan dalam pengoperasian sistem yang baru dikembangkan, hal tersebut untuk mengatasi kebutuhan teknis maupun non teknis antara lain seperti: bug finding, help desk, administering, security dan audit, patching, maupun upgrade.
5. Requirement dapat dipahami secara jelas
Selfsourcing mengedepankan peran user dalam menentukan obyektif dan sasaran pengembangan infrastruktur sistem informasi. Knowledge dan expertise yang terdapat di dalam benak user menjadi lebih mudah diartikulasikan ke dalam tahapan-tahapan pengembangan. Celah-celah kekurangan dari sistem teknologi informasi yang diinginkan dapat lebih diminimasi dengan asumsi bahwa user yang sekaligus pengembang sistem sangat memahami seluk beluk permasalahan yang dialaminya selama ini. User yang terdiri atas kelompok pekerja masing-masing memiliki ekspektasi yang nyaris sama atas sistem yang akan dibangun, variasi keinginan dari masing-masing user seringkali memperkaya khasanah sistem yang akan dikembangan dan kondisi ini lebih mendorong munculnya sebuah sistem yang rock solid dan aplikatif. Dengan ekspektasi yang relatif sama, sekelompok user diharapkan dapat melakukan fungsi kontrol atas sistem teknologi informasi yang telah dikembangkan dengan membandingkan antara hasil dan ekspektasi yang ada di dalam benaknya.
6. Meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki pada infrastruktur yang dikembangkan
Sistem teknologi informasi yang dibangun dari permasalah mendasar pada akar rumput (grass root) cenderung akan menjadi sebuah sistem yang langgeng dan aplikatif. Selain memberi kebanggaan tersendiri bagi user sekaligus pengembang sistem dimaksud, sang pengguna biasanya lebih “care” dan lebih “toleran” terhadap performansi dari sistem tersebut. Munculnya rasa memiliki di kalangan user, meningkatkan derajat apresiasi dan kewaspadaan didalam pemeliharaan dan pengoperasian sistem teknologi informasi yang dimaksud.
7. Relatif mempercepat tahapan pengembangan
Dengan mekanisme selfsourcing terjadi reduksi waktu yang diperlukan untuk mendisposisikan tanggung jawab pengembangan ke pihak lain. Reduksi waktu dan effort dapat dirasakan dari tahapan pendefinisian cakupan proyek hingga tahapan akhir siklus pengembangan teknologi secara selfsourcing. Dalam beberapa kasus pengembangan dimana user telah memahami metodologi pentahapan (versioning) dari pengembangan sebuah sistem, siklus pengembangan dapat dirancang lebih singkat dengan melakukan pentahapan (pengembangan versi sistem) di dalam penambahan kemampuan dari sistem yang dibangun.
8. Cost cutting
Bila sistem teknologi informasi dikembangkan sendiri secara selfsourcing, apakah masih diperlukan adanya biaya ? Biaya pengembangan masih tetap diperlukan, namun budget yang sedianya dialoasikan untuk “mandays” tenaga pengembang, dalam selfsourcing budget ini dapat dimanfaatkan untuk pos anggaran lainnya. Dapat dibayangkan reduksi yang dapat dilakukan bila sebuah proyek pengembangan dilakukan secara outsourcing atau turnkey project, apalagi pada proyek dengan skala besar.
9. Lower the cost of owning technology
Pemanfaatan internal human resource dalam kegiatan pengembangan sistem teknologi informasi, dipercaya dapat memangkas berbagai biaya yang muncul bila hal ini dilakukan secara outsourcing maupun turn key project. Dalam skenario selfsourcing, komponen mandays pengembang biasanya dinegasikan- hal ini karena proses pengembangan dilakukan secara swadaya. Pentahapan implementasinya pun dapat disesuaikan dengan kesiapan user sendiri dan tak lupa pula disesuaikan dengan besarnya budget dan komitmen manajemen perusahaan akan hal ini.
10. Improve reaction of unplanned events
Munculnya requirement baru sangat mungkin terjadi seiring dengan proses implementasi teknologi informasi dimaksud. Respon atas perubahan requirement menuntut peran serta aktif user dan pengembangan sistem teknologi informasi yang telah ada saat ini, metode selfsourcing memungkinkan sebuah respon yang “lebih cepat” atas perubahan requirement di atas. Untuk setiap perubahan minnor, mungkin dapat dilakukan secara seketika, dan untuk perubahan mayor yang membutuhkan proses reengineering, siklus rekayasanya menjadi lebih cepat direalisasikan.
11. Create scalable and realiable technology solutions
User yang memiliki ide pengembangan, user yang memahami permasalahan riil di lingkungan unit kerjanya, dan akhirnya user pula yang menentukan pilihan teknologi yang dianggap mampu “menjawab” kebutuhan yang dihadapinya saat ini. Berangkat dari kebutuhan riil user , kecenderungan yang sering terjadi adalah munculnya sebuah solusi yang “benar-benar mengakar” pada permasalahan teknis di lapangan.
12. Improve information technology competencies
Kompetensi user semakin terasah dengan adanya “benturan” permasalahan pengembangan sistem teknologi informasi dimaksud. User semakin peka dalam menyimak kebutuhan yang menjadi tuntutan unit kerjanya, dan user semakin berpengalaman dalam mendefinisikan solusi yang sesuai dengan kebutuhannya tersebut.
Namun bukan berarti bahwa pengembangan sistem teknologi informasi secara selfsourcing jauh dari resiko dan kendala. Beberapa resiko dan kendala yang menghadang dengan metodologi pengembangan sistem teknologi informasi secara selfsourcing ini antara lain :
13. Kurangnya pemahaman user dalam tahapan pengembangan, menghasilkan sistem yang kurang memenuhi spesifikasi yang ditetapkan sebelumnya atau mengalami distorsi dalam pelaksanaannya.
14. Selfsourcing merupakan inisiatif sektoral dari sebuah unit kerja dalam lingkungan perusahaan, kolaborasi dan komunikasi yang kurang transparan antara pengembang sistem dengan pengelola infrastruktur teknologi informasi perusahaan akan menyebabkan sistem teknologi informasi yang telah dikembangan “terkucil” karena tidak dapat diintegrasikan dengan sistem eksisting
15. Minimnya upaya dokumentasi dan dukungan ekternal (baik pengelola infrastruktur teknologi informasi maupun unit lain), menyebabkan sistem informasi yang dikembangkan “berumur pendek”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar